Rabu, 26 Maret 2025

Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 3

 

Rona Rasa Dibalik Kanvas

Chapter 3: Kanvas Baru

Beberapa bulan kemudian, Alya dan Raka mulai membangun hubungan mereka kembali. Namun, kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain. Mereka mulai bekerja sama di sebuah proyek seni kecil, bukan untuk galeri besar, tetapi untuk diri mereka sendiri.

Alya menemukan kebebasan yang selama ini dia cari. Dia mulai menulis tentang seni dan menjalankan proyek-proyek yang mendukung seniman independen. Sementara itu, Raka terus melukis, kali ini tanpa rasa terpaksa, karena dia tahu bahwa Alya mendukung kebebasannya sebagai seniman.

Hubungan mereka tumbuh perlahan, dengan warna-warna yang lebih lembut dan tenang, seperti kanvas baru yang siap untuk diisi dengan segala kemungkinan. Cinta mereka, meski tidak sempurna, mulai menemukan jalannya.

Dengan kehadiran Alya di studio Raka, suasana menjadi lebih hidup. Mereka mulai menciptakan karya seni Bersama proyek yang mereka sebut "Kanvas Perasaan". Raka melukis, sementara Alya menulis puisi yang terinspirasi dari lukisan tersebut. Setiap kali Raka menambahkan warna baru ke kanvas, Alya menambahkan bait puisi yang mencerminkan emosinya.

Pada suatu sore, saat mereka sedang bekerja, Alya merasakan getaran dalam dirinya yang belum pernah ia alami sebelumnya. “Raka, apakah kamu pernah merasa bahwa sebuah lukisan bisa berbicara lebih keras daripada kata-kata?” tanyanya sambil mengamati warna-warna cerah yang mengalir di kanvas.

Raka mengangguk. “Setiap kali aku melukis, aku merasa seperti membebaskan sebuah cerita yang terkurung. Warna-warna ini adalah bagian dari diriku—perasaan yang sulit diungkapkan. Seperti puisi yang kamu tulis, itu memberi makna pada semua yang kita rasakan.”

Alya tersenyum, merasa seolah mereka berdua sedang berada dalam dunia yang sepenuhnya baru, di mana seni menjadi bahasa mereka. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada bayangan masa lalu yang masih menghantui mereka.

Suatu hari, saat sedang berbelanja di pasar seni lokal, Alya mendengar bisikan tentang pameran seni besar yang akan datang. Meskipun dia tidak lagi bekerja di galeri, hatinya bergetar ketika dia mendengar bahwa Aditya berencana untuk mengundang seniman-seniman terbaik untuk mempersembahkan karya-karya mereka. “Raka, bagaimana kalau kita ikut pameran itu?” Alya bertanya di malam hari saat mereka menikmati teh di studio. Raka menatapnya dengan keraguan. “Kamu yakin? Itu artinya kita harus kembali ke dunia yang kau tinggalkan. Apakah kamu siap untuk itu?”

Alya menghela napas. “Aku tidak ingin pergi ke sana sebagai kurator. Aku ingin pergi sebagai seniman bersama kamu. Kita bisa menunjukkan apa yang bisa kita buat bersama. Ini bukan tentang pengakuan atau uang, tapi tentang menunjukkan sisi seni yang lebih tulus.”

Raka berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, kita coba. Tapi kita lakukan ini dengan cara kita sendiri. Kita tidak akan berkompromi dengan karya kita.”Malam pameran tiba. Studio Raka dihias dengan lukisan-lukisan mereka, lengkap dengan puisi-puisi Alya yang tertempel di samping kanvas. Mereka merancang ruang dengan cara yang mencerminkan kebebasan dan kreativitas sebuah tempat di mana orang bisa merasakan emosi yang terkandung dalam setiap karya.

Saat acara dimulai, suasana di galeri dipenuhi oleh seniman, kritikus, dan penggemar seni. Alya dan Raka berdiri berdampingan di depan karya mereka, merasakan adrenalin yang bercampur dengan kegembiraan.

Aditya mendekati mereka, wajahnya menunjukkan ketidakpastian. “Alya, kamu kembali! Karya ini… tidak biasa,” katanya, tampak terkejut namun tertarik.

“Ini bukan tentang bisnis, Aditya. Ini tentang seni yang berbicara untuk diri sendiri,” jawab Alya dengan percaya diri.

Setelah beberapa saat, orang-orang mulai mendekati karya mereka. Ada yang terpesona, ada pula yang bingung. Namun, yang paling penting, banyak yang merasakan kedalaman emosi dalam karya tersebut.

Ketika malam semakin larut, seorang kritikus seni terkenal, Hanna, mendekati mereka. “Saya suka apa yang kalian lakukan di sini. Karya ini berbeda. Ini membawa pengalaman yang mendalam.”

Kata-kata itu membuat Alya dan Raka merasa terbang. Mereka saling bertukar pandang, merasakan kebanggaan dan keberhasilan yang tidak hanya datang dari pengakuan, tetapi dari pencapaian yang telah mereka buat bersama.

Setelah pameran itu, Alya dan Raka mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar di dunia seni. Banyak orang mulai mengenali karya mereka, dan tawaran untuk pameran lainnya mulai berdatangan. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Alya merasa ada beban di pundaknya.

“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Raka? Apakah kita siap untuk menghadapi tuntutan dan ekspektasi baru ini?” tanyanya suatu sore, saat mereka duduk di teras studio, menikmati matahari terbenam.

“Biarkan semua itu mengalir seperti air,” jawab Raka sambil menatap ke kejauhan. “Kita bisa mengambil kesempatan ini, tapi kita tidak boleh kehilangan jati diri kita. Ini adalah tentang seni, bukan tentang apa yang orang lain harapkan dari kita.”

Alya tersenyum mendengar kata-kata Raka. Dia tahu bahwa bersama Raka, mereka bisa menemukan cara untuk menavigasi tantangan ini. “Aku rasa kita bisa membuat perjalanan ini lebih dari sekadar pameran, Raka. Bagaimana kalau kita mengadakan workshop seni? Kita bisa mengajak orang lain untuk merasakan seni dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan.”

Raka mengangguk, terinspirasi oleh ide Alya. “Itu ide yang bagus. Kita bisa berbagi proses kreatif kita dengan orang lain. Seni seharusnya menjadi pengalaman yang inklusif.” 

Mengukir Jejak Baru

Seiring waktu berlalu, workshop yang mereka adakan semakin populer. Banyak peserta yang datang untuk belajar tentang cara melukis dan menulis puisi, serta menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka. Alya dan Raka menjadi mentor bagi banyak seniman muda, membantu mereka menemukan suara mereka sendiri.

Di tengah kesibukan itu, hubungan Alya dan Raka semakin kuat. Mereka tidak hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai rekan kerja yang saling mendukung dan mendorong. Setiap hari di studio menjadi petualangan baru baik dalam menciptakan seni maupun dalam menjalin cinta.

Suatu malam, setelah menyelesaikan workshop, Alya dan Raka duduk bersama, memandangi langit berbintang. “Rasa syukur yang mendalam melanda diriku,” kata Alya. “Aku merasa hidupku kini lebih bermakna.”

Raka menatap Alya dengan lembut. “Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan akan menemukan seseorang yang memahami dan mendukungku seperti kamu. Kamu adalah warna di kanvas hidupku.”

Alya merasakan kehangatan di dadanya. “Dan kamu adalah motivasiku untuk terus berjuang, Raka. Bersamamu, aku menemukan diri yang baru.”

Tahun berlalu, dan karier seni mereka semakin berkembang. Pameran-pameran baru, publikasi, dan penghargaan mulai menghampiri. Namun, yang paling penting, mereka tetap berpegang pada prinsip awal mereka seni harus tetap menjadi pengalaman yang tulus dan tidak tertekan oleh dunia luar.

Suatu malam, di studio mereka yang kini telah berkembang menjadi ruang seni yang nyaman dan inspiratif, Raka mengajak Alya untuk duduk di depan kanvas kosong. “Mari kita buat sesuatu yang baru malam ini. Sesuatu yang bisa menggambarkan perjalanan kita.”

Alya tersenyum lebar. “Aku siap. Mari kita lukis masa depan kita bersama.”

Mereka mulai melukis, menggabungkan warna-warna yang mencerminkan perjalanan emosional dan pengalaman yang telah mereka lalui. Setiap goresan kuas adalah ungkapan cinta, harapan, dan kebebasan yang mereka temukan di antara kanvas-kanvas yang telah terlukis sebelumnya.

Ketika malam semakin larut, mereka menatap karya baru mereka sebuah lukisan yang menggambarkan perjalanan mereka dari ketidakpastian menuju kebahagiaan. Warna-warna cerah berpadu dalam harmoni, menciptakan gambaran indah yang mencerminkan cinta dan seni yang tidak terpisahkan.

Alya dan Raka saling berpegangan tangan, menyadari bahwa mereka telah menemukan jati diri masing-masing, bukan hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai pasangan. Di balik kanvas, ada kisah yang tak terhingga, kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, dan seni yang selalu menjadi penghubung di antara mereka.

 

Setelah beberapa tahun berjalan, studio Raka menjadi pusat kreatif yang tidak hanya bagi mereka berdua, tetapi juga bagi banyak seniman muda. Banyak orang datang untuk belajar, berkarya, dan berbagi ide. Setiap hari, Alya dan Raka merasakan vibrasi positif yang mengalir di ruang itu.

Suatu pagi, saat sedang bersiap untuk workshop baru, Alya menemukan selembar kertas di meja Raka. Ternyata, itu adalah sketsa wajahnya yang dibuat dengan cepat. Di bawah sketsa itu, ada tulisan: “Seni adalah cara kita melihat satu sama lain.” Alya merasa hatinya hangat. Karya-karya Raka selalu mampu menyentuh hatinya.

“Raka, ini indah!” seru Alya sambil mengangkat kertas itu. “Kapan kamu menggambar ini?”

Raka tersenyum sambil mengatur kuas di tangannya. “Tadi malam, saat kamu sedang tidur. Aku ingin menggambarkan betapa berartinya kamu dalam hidupku.”

Alya merasa tersanjung. “Kamu tahu, kita harus memamerkan karya ini di workshop nanti. Orang-orang harus melihat bagaimana seni bisa menjadi ungkapan perasaan.”

Raka mengangguk setuju. “Tentu. Dan aku juga ingin menggambarkan proses kita dalam berkarya. Kita akan membuat karya kolaborasi dengan para peserta.”

Selama workshop itu, mereka berbagi pengalaman, tidak hanya tentang seni tetapi juga tentang kehidupan. Alya dan Raka mendorong peserta untuk mengeksplorasi perasaan mereka, dan lukisan demi lukisan mulai terlahir dari tangan-tangan muda yang penuh semangat. Melihat kebangkitan kreativitas di sekelilingnya, Alya merasakan sebuah kebahagiaan yang tulus. 

Hari-hari berlalu, dan Alya dan Raka semakin dikenal di kalangan seniman. Mereka menerima tawaran untuk mengadakan pameran seni di sebuah galeri besar di kota. Aditya, yang kini menjadi kurator seni terkemuka, menghubungi mereka dengan antusiasme yang baru.

“Alya, Raka! Saya sangat terkesan dengan kerja keras kalian,” kata Aditya saat mereka bertemu di kafe. “Pameran ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan karya kalian kepada dunia.”

Raka terlihat ragu. “Aditya, kami tidak ingin terjebak dalam dunia komersial lagi. Kami ingin menjaga integritas seni kami.”

Aditya mengangguk. “Saya mengerti. Tapi kali ini, kamu bisa mengatur konsep dan tema pameranmu sendiri. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan siapa kalian yang sebenarnya.”

Alya merasa tertekan, namun sekaligus bersemangat. “Baiklah, mari kita pikirkan tema yang dapat merepresentasikan perjalanan kita. Sesuatu yang melibatkan kolaborasi antara kami dan seniman muda yang kami bimbing.”

Raka tersenyum. “Aku suka ide itu. Mari kita panggil semua orang yang telah belajar di studio dan ajak mereka untuk berpartisipasi.”

Selama beberapa minggu ke depan, mereka bekerja keras mempersiapkan pameran. Alya dan Raka mengundang para peserta workshop untuk berkolaborasi dalam membuat karya seni bersama. Proses ini menjadi pengalaman yang menyentuh bagi mereka semua. Setiap orang mengekspresikan diri melalui lukisan, puisi, dan instalasi.

Pada suatu malam, mereka mengadakan pertemuan di studio. Raka mengatur lukisan-lukisan yang akan ditampilkan, sementara Alya mengorganisir pameran. Di tengah kesibukan itu, Alya merasa cemas. “Raka, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi pameran ini? Bagaimana jika orang-orang tidak menyukainya?”

Raka memegang tangan Alya. “Kita sudah melakukan yang terbaik. Yang terpenting adalah, kita telah menunjukkan sisi diri kita yang sebenarnya. Jangan biarkan ketakutan menghalangi kita.”

“Benar. Aku hanya ingin agar semua orang merasakan kebebasan yang kita alami saat berkarya,” balas Alya.

Ketika malam pameran tiba, atmosfer di galeri sangat hidup. Alya dan Raka menyambut pengunjung, dan seniman muda yang berpartisipasi terlihat bersemangat. Mereka mengamati orang-orang yang menikmati karya mereka, mendiskusikan interpretasi, dan merasakan emosi yang tersampaikan.

Pameran berlangsung sukses, dengan banyak pujian datang dari para pengunjung dan kritikus. Alya dan Raka merasa terharu melihat orang-orang terinspirasi oleh karya mereka. Di tengah keramaian, mereka mendapati diri mereka berdiri di depan karya kolaborasi terbesar mereka—sebuah mural besar yang menggambarkan perjalanan mereka sebagai seniman dan sebagai pasangan.

Di tengah kerumunan, Alya mendengar suara yang akrab. “Alya! Raka! Kalian luar biasa!” Aditya muncul di samping mereka, terlihat bersemangat.

“Terima kasih, Aditya. Ini semua berkat dukunganmu,” balas Alya dengan senyuman.

Aditya mengangguk. “Karya kalian sangat kuat dan autentik. Saya ingin mengajak kalian untuk berbicara di beberapa acara seni mendatang. Ini bisa menjadi platform yang bagus untuk lebih memperkenalkan karya kalian.”

Raka menatap Alya, dan keduanya saling bertukar pandang. “Kita harus membahas ini terlebih dahulu. Kami ingin menjaga agar semua tetap tulus,” kata Raka.

Aditya mengerti. “Tentu. Ambil waktu kalian. Namun, saya percaya ini bisa menjadi langkah besar untuk karier kalian.”

Creator: Ihsan Mulia Siregar

To Be Continue

 

Sabtu, 15 Maret 2025

Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 2

    Rona Rasa Dibalik Kanvas

Chapter 2 : Pilihan Yang Sulit

Pada suatu sore, Alya bertemu Raka di studionya. Di tengah obrolan santai, Alya akhirnya memberanikan diri untuk membicarakan tawaran dari galeri.

“Raka, aku ingin menawarkan sesuatu,” katanya dengan hati-hati. “Galeri tempatku bekerja ingin memamerkan karyamu. Dengan syarat beberapa hal yang harus diubah.”

Raka terdiam sejenak, tatapannya serius. “Apa maksudmu, Alya?”

“Mereka ingin karyamu lebih formal. Mungkin ada sedikit perubahan dalam cara kamu menyajikan karya. Ini kesempatan besar untukmu, Raka. Kamu bisa dikenal oleh banyak orang.”

Wajah Raka berubah. “Aku tidak melukis untuk itu, Alya. Aku tidak bisa berubah hanya demi menyenangkan orang-orang yang tidak mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan saat melukis.”

Alya merasa kecewa, baik pada dirinya sendiri maupun pada situasi ini. Dia tahu apa yang dia lakukan tidak benar, tapi di sisi lain, dia ingin membantu Raka mencapai kesuksesan yang lebih besar.

“Ini bukan tentang merusak karya senimu, Raka,” Alya mencoba membujuknya. “Ini tentang kesempatan untuk menunjukkan pada dunia apa yang bisa kamu lakukan.”

Tapi Raka menggeleng pelan. “Aku tidak butuh dunia, Alya. Aku hanya butuh melukis apa yang aku rasakan. Jika itu tidak cukup untuk mereka, maka biarlah.”

Alya terdiam. Di saat itu, dia sadar bahwa cinta dan hubungan tidak selalu bisa mengatasi perbedaan visi yang begitu besar. Cinta mereka, sekuat apa pun, mungkin tidak bisa menyatukan dua dunia yang sangat berbeda.

Cinta di Tengah Kegelisahan

Alya pulang malam itu dengan pikiran kacau. Pertemuannya dengan Raka di studio meninggalkan perasaan hampa. Dia memahami prinsip Raka, tapi dia juga merasa gagal. Di satu sisi, dia tidak ingin menekan Raka untuk berubah, namun di sisi lain, dia terikat oleh tuntutan pekerjaan dan ekspektasi Aditya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Alya mempertanyakan tujuan hidupnya.

Di rumahnya yang minimalis namun elegan, Alya duduk di meja kerjanya dan memandang koleksi catatan kerjanya. Tawaran Aditya untuk mengorbitkan Raka tampak menggoda. Tapi hatinya tak bisa tenang.

Sinta, yang biasanya menjadi pendamping Alya dalam menghadapi kebingungan seperti ini, meneleponnya.
“Alya, kamu kelihatan gelisah sejak bertemu Raka. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sinta dengan nada perhatian.

Alya menceritakan semua yang ada di pikirannya. “Aku merasa terjebak. Aku ingin Raka dikenal lebih banyak orang. Karyanya indah, Sinta, tapi dia tidak mau berkompromi. Aku mulai berpikir, mungkin kita terlalu berbeda.”

Sinta tersenyum tipis di ujung telepon. “Kamu jatuh cinta, Alya. Tapi cinta itu memang selalu menguji kita. Mungkin ini saatnya kamu mempertimbangkan apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hidup bukan cuma soal pekerjaan, tapi juga soal perasaan.”

Perasaan yang dipendam selama ini mulai mengemuka di hati Alya. Apakah dia lebih peduli pada pekerjaannya, atau pada cinta yang sedang tumbuh? Pikirannya terus berputar hingga larut malam, dan dia tak bisa memejamkan mata dengan tenang.

Di Antara Dua Dunia

Beberapa hari berlalu. Alya mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan untuk melupakan kegelisahannya, tapi setiap kali dia berada di galeri, bayangan Raka dan percakapan mereka terus menghantui pikirannya. Bahkan lukisan-lukisan di galeri yang biasanya membuatnya merasa bangga kini terlihat kosong dan tanpa jiwa.

Aditya, yang menyadari kegelisahan Alya, memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Dia menghubungi Raka tanpa sepengetahuan Alya, menawarkan pameran besar dan menjanjikan penghasilan besar dari karyanya. Bagi Aditya, seni adalah bisnis dan dia tahu potensi komersial Raka.

Suatu sore, ketika Alya sedang bekerja di galeri, Raka muncul di sana. Alya kaget melihatnya, terutama karena wajah Raka tampak tegang, sesuatu yang jarang ia lihat pada pria itu.

“Aku bicara dengan bosmu tadi,” kata Raka, tanpa basa-basi. “Dia bilang aku bisa mengadakan pameran di sini, tapi dengan syarat aku harus mengubah gayaku, harus menyesuaikan karya-karyaku dengan selera pasar.”

Alya terkejut, sekaligus marah. “Aditya tidak seharusnya menghubungimu tanpa memberitahuku.”

“Tapi itulah kenyataan di dunia kalian, kan?” Raka berkata dengan nada sinis. “Segalanya harus sesuai dengan keinginan orang lain, harus laku dijual, bukan tentang apa yang seniman rasakan.”

Alya merasa tersudut. “Aku tidak pernah ingin memaksamu, Raka. Tapi aku juga ingin kamu bisa mencapai lebih banyak orang, agar dunia bisa melihat betapa hebatnya karyamu.”

Raka menatap Alya dengan mata penuh kekecewaan. “Kamu benar-benar tidak mengerti, ya? Aku tidak melukis untuk pengakuan orang. Kalau aku harus kehilangan jiwaku demi itu, aku lebih baik tetap berada di jalanan.”

Alya terdiam, hatinya tersayat. Dalam kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti mereka, dia sadar  bahwa ada jurang besar yang memisahkan mereka, yang mungkin tidak bisa dijembatani.

Luka yang Terbuka

Setelah pertengkaran itu, Raka menjauh dari Alya. Dia berhenti membalas pesan-pesannya, dan Alya pun merasa kehilangan. Hatinya berat, dan dia tidak bisa fokus pada apa pun. Hari-harinya di galeri terasa kosong tanpa kehadiran Raka dalam hidupnya.

Suatu malam, Sinta datang berkunjung ke apartemen Alya dengan membawa sebotol anggur dan pizza. “Kamu terlihat kacau,” kata Sinta sambil duduk di sofa, memandang Alya yang duduk lesu di sebelahnya.

“Aku merasa semuanya salah,” jawab Alya, memandang keluar jendela yang memperlihatkan gemerlap kota. “Raka menjauh. Aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”

Sinta menghela napas dan menatap Alya dalam-dalam. “Kadang, cinta itu soal memberi ruang. Kamu dan Raka punya jalan hidup yang berbeda, tapi bukan berarti kalian tidak bisa saling menemukan lagi. Mungkin sekarang saatnya kamu juga menemukan apa yang benar-benar kamu inginkan.”

Alya terdiam. Kata-kata Sinta menusuk dalam, karena ia tahu apa yang dimaksud temannya. Mungkin selama ini dia terlalu fokus pada karier dan pada apa yang diharapkan oleh orang lain Aditya, galeri, dunia seni komersial hingga dia lupa pada dirinya sendiri.

Di tengah malam itu, Alya memutuskan sesuatu. Esok harinya, dia mengirimkan surat pengunduran diri ke Aditya. Dia tahu bahwa dunia galeri bukan lagi tempatnya, bukan ketika seni yang dia yakini tak lagi tentang kebebasan dan perasaan, tetapi tentang angka dan keuntungan.

Mencari Diri Sendiri

Setelah meninggalkan pekerjaannya di galeri, Alya merasa bebas untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Namun, kebebasan ini juga membawa kebingungan. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, atau apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Tapi dia tahu satu hal: dia tidak bisa membiarkan hubungannya dengan Raka berakhir begitu saja.

Di suatu pagi yang cerah, Alya memutuskan untuk mengunjungi studio Raka. Hatinya berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi. Ketika dia tiba di sana, Raka sedang duduk di depan sebuah kanvas kosong, tatapannya kosong.

Raka menoleh saat mendengar langkah Alya, tapi tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya kelelahan. “Kamu di sini,” katanya dengan nada datar.

“Ya, aku di sini,” jawab Alya sambil berjalan mendekat. “Aku sudah berhenti dari galeri.”

Raka menatapnya, jelas terkejut. “Kenapa?”

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena aku ingin menemukan kembali apa yang benar-benar aku cintai. Selama ini aku bekerja untuk kepentingan orang lain, dan aku lupa bahwa seni seharusnya membawa kebebasan, bukan tekanan.”

Raka terdiam, merenungkan kata-kata Alya. “Aku tidak pernah ingin kamu memilih antara aku atau kariermu, Alya.”

“Aku tahu,” jawab Alya dengan lembut. “Tapi ini bukan tentang memilih antara kamu dan pekerjaanku. Ini tentang menemukan jati diriku lagi. Dan dunia yang kamu tunjukkan padaku membuatku sadar bahwa hidup ini lebih dari sekadar kesuksesan atau pengakuan.”

Suasana hening di antara mereka, namun kali ini bukan karena perbedaan, melainkan karena pemahaman. Raka berdiri dan berjalan mendekati Alya. Tatapannya lembut, dan senyum tipis terbentuk di wajahnya.

“Mungkin kita bisa mulai dari awal lagi,” kata Raka dengan nada rendah. “Tanpa tekanan, tanpa ekspektasi.”

Alya tersenyum, matanya mulai berembun. “Aku ingin itu lebih dari apa pun.”

To be Continue.

Creator: Ihsan Mulia Siregar

Jumat, 08 November 2024

Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 1

Rona Rasa Dibalik Kanvas

Chapter 1: Pertemuan di Balik Kanvas

Alya selalu menyukai ketenangan pagi hari di galeri seni. Dinding putih bersih, karya-karya seni yang digantung dengan rapi, dan cahaya alami yang menerobos masuk melalui jendela besar. Itu adalah dunianya, teratur, elegan, tanpa kekacauan. Namun, di balik semua ketenangan itu, ada kerinduan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.

Pagi itu, dia menerima sebuah undangan dari temannya, Sinta, untuk mengunjungi sebuah pameran seni jalanan di pinggiran kota. Awalnya, Alya ragu. Seni jalanan? Bukan kelasnya. Namun, dorongan rasa ingin tahu dan desakan Sinta membawanya ke sebuah ruang terbuka yang dipenuhi seniman jalanan. Suasana ramai dan penuh warna itu sangat kontras dengan dunia seni formal yang ia kenal.

Di tengah keramaian, Alya melihat sebuah kanvas besar yang menggambarkan pemandangan abstrak dari kota. Warnanya cerah, liar, dan penuh emosi. Seorang pria, dengan pakaian yang berantakan dan penuh noda cat, sedang menyelesaikan detail terakhir dari lukisan itu. Raka.

“Bagus, ya?” Sinta berbisik di sampingnya. “Dia salah satu seniman jalanan paling berbakat di kota ini.”

Alya mengangguk, matanya masih terpaku pada karya di depannya. Ada sesuatu dalam lukisan itu yang menggerakkan perasaannya, sebuah ekspresi kebebasan yang selama ini ia dambakan, namun tak pernah ia temukan dalam karya-karya formal di galerinya.

Setelah pameran selesai, Alya mendekati Raka yang sedang membersihkan peralatannya.

"Anda seniman di balik lukisan ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih formal dari yang ia inginkan.

Raka tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Iya, tapi aku lebih suka disebut pelukis jalanan. Seniman terdengar terlalu berat.”

Alya menahan senyum. Ada kejujuran dalam kata-kata Raka yang membuatnya merasa tenang. “Lukisan Anda... sangat berbeda dari yang biasanya saya lihat di galeri. Bagaimana Anda memilih tema dan warna?”

Raka mengangkat bahu, mengusap tangannya yang belepotan cat ke celananya. “Aku tidak memilih. Warna-warna itu memilihku. Aku hanya mengikuti perasaan.”

Jawaban itu membuat Alya terdiam. Dalam dunia seni yang dia kenal, segala sesuatu harus terencana dan terstruktur. Tapi pria ini... dia hanya mengikuti kata hatinya.

Pertemuan itu menjadi awal dari serangkaian percakapan antara Alya dan Raka. Semakin sering mereka bertemu, semakin dalam Alya terpesona oleh dunia Raka yang bebas dan penuh ekspresi. Bagi Raka, Alya adalah angin segar yang mengingatkannya bahwa meski dunia seni formal kaku, ada sisi lembut dan indah dari mereka yang hidup di dalamnya.

Namun, cinta mereka tak lepas dari ujian. Tekanan pekerjaan Alya semakin meningkat ketika bosnya, Aditya, melihat potensi komersial dari karya-karya Raka. Alya diminta untuk "membentuk" Raka agar bisa diterima di galeri mereka, namun Raka menolak mentah-mentah. Bagi Raka, seni bukanlah tentang uang atau pengakuan, melainkan tentang kebebasan jiwa.

Di balik kanvas, mereka menemukan cinta, tetapi apakah cinta itu cukup kuat untuk mengatasi perbedaan besar di antara mereka? Baca terus keseruannya.

Lanjutan…

Setelah pertemuan pertama itu, Alya merasa ada yang berubah dalam dirinya. Dunia yang selama ini ia anggap sempurna galeri seni yang teratur, pameran yang megah, dan karier yang menanjak tiba-tiba terasa membosankan. Raka, dengan kesederhanaan dan kebebasannya, telah membuka sebuah pintu dalam pikirannya yang lama terkunci.

Sementara itu, Sinta memperhatikan perubahan dalam diri Alya. Di kafe tempat mereka biasa bertemu, Sinta mengangkat alis ketika Alya terlihat lebih banyak melamun.

“Kamu kelihatan aneh belakangan ini, Alya,” kata Sinta sambil mengaduk kopinya. “Apa yang ada di pikiranmu?”

Alya tersenyum, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Entah kenapa, sejak ketemu Raka, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Rasanya, selama ini aku terlalu fokus pada karier dan lupa bahwa seni itu harusnya juga bisa dinikmati, bukan hanya dinilai.”

Sinta tersenyum bijak. “Raka memang seperti itu. Dia selalu hidup dengan hati, bukan dengan kepala. Tapi hati-hati, Alya, dia juga tipe orang yang tidak bisa dikendalikan. Apa kamu siap menghadapi itu?”

Alya terdiam. Ia tidak pernah berpikir bahwa pertemuannya dengan Raka bisa menjadi lebih dari sekadar diskusi seni. Namun, ada sesuatu tentang pria itu yang memaksanya keluar dari zona nyaman.

Lanjutan…

Minggu berikutnya, Alya mengunjungi tempat bekerja Raka sebuah studio sederhana di pinggir kota, penuh dengan kanvas, cat, dan berbagai barang seni yang berantakan. Di sana, ia melihat Raka bekerja dengan intens, menciptakan sesuatu yang tampak spontan dan penuh gairah. Lukisan-lukisan itu berbeda jauh dari karya-karya yang biasa ia lihat di galeri, tapi justru itulah yang menariknya.

“Kamu datang lagi,” kata Raka sambil menoleh sekilas ke arah Alya yang berdiri di pintu. Senyumnya hangat, seolah tak ada jarak di antara mereka.

“Aku tertarik dengan caramu bekerja,” jawab Alya, mendekat ke arah salah satu kanvas. “Aku ingin tahu bagaimana kamu bisa membuat semua ini begitu hidup.”

Raka berhenti melukis, menatap Alya sejenak. “Aku melukis bukan untuk membuatnya sempurna. Aku melukis apa yang aku rasakan, apa yang terjadi dalam diriku saat itu. Setiap warna punya ceritanya sendiri.”

Alya terdiam. Bagi Raka, seni adalah tentang emosi, bukan aturan atau estetika yang disetujui. Dia sadar bahwa mereka berasal dari dua dunia yang sangat berbeda, tapi itu justru membuatnya semakin ingin mengenal Raka lebih jauh.

“Apa kamu pernah memamerkan karyamu di galeri?” Alya bertanya hati-hati.

Raka tertawa kecil. “Galeri? Bukan tempatku. Di sana, orang-orang hanya melihat karya untuk menilai, bukan merasakannya.”

Alya merasa tertantang. Sebagai kurator, tugasnya adalah memperkenalkan seni kepada publik. Namun, Raka membuatnya sadar bahwa seni sejati bukan hanya tentang teknik atau pengakuan, tapi juga tentang pengalaman pribadi dan kebebasan berekspresi.

Lanjutan…

Waktu berlalu, dan pertemuan Alya dengan Raka semakin sering terjadi. Mereka mulai saling mengenal lebih dalam, bukan hanya sebagai seniman dan kurator, tapi sebagai dua individu yang memiliki pandangan hidup yang sangat berbeda.

Di satu sisi, Alya merasa bahwa Raka telah membuka matanya pada makna seni yang lebih dalam. Dia mulai mempertanyakan pilihannya selama ini apakah ia benar-benar mencintai seni, atau hanya mengejar kesuksesan dalam kariernya?

Namun, di sisi lain, Alya merasa terjebak antara dua dunia. Bosnya, Aditya, mulai memintanya untuk membawa seniman-seniman baru yang "menjanjikan" ke galeri. Dan setelah melihat karya Raka, Aditya yakin bahwa pelukis jalanan itu bisa menjadi sensasi baru di dunia seni formal.

“Alya, aku ingin kamu membawa dia ke galeri. Dengan sedikit polesan, karyanya bisa dijual dengan harga tinggi,” kata Aditya saat mereka berdiskusi di kantor.

“Tapi, Raka bukan tipe seniman yang tertarik dengan komersialisasi seni,” jawab Alya. “Dia tidak melukis untuk uang atau pengakuan.”

Aditya menghela napas panjang. “Itulah tugasmu. Bujuk dia. Seni adalah bisnis, Alya. Kalau dia punya bakat, kita harus manfaatkan. Dia bisa menjadi bintang baru di dunia seni kita.”

Alya merasa dilema. Dia ingin membantu Raka mendapatkan pengakuan, tapi dia juga tahu bahwa Raka tidak akan pernah mau tunduk pada aturan-aturan galeri yang ketat. Dan jika dia memaksa Raka, mungkin hubungan mereka kedepan akan menjadi tidak baik.

To be Continue.

Creator: Ihsan Mulia Siregar

Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 3

  Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 3: Kanvas Baru Beberapa bulan kemudian, Alya dan Raka mulai membangun hubungan mereka kembali. Namun,...